Bahasa Indonesia: Warisan Pemuda Lampau, Tanggung Jawab Pemuda Kini

Posted on Updated on

Mohammad Tabrani Soerjowitjirto atau disingkat M. Tabrani. (Sumber foto: id.wikipedia.org)

Indonesia, negara yang kaya dengan keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa, memerlukan sebuah titik temu untuk menyatukan jiwa dan aspirasi dari seluruh penjuru Nusantara. Titik temu itu adalah Bahasa Indonesia. Sebagai bahasa yang menaungi ratusan suku dan belasan ribu pulau, kelahirannya tak lepas dari peran serta pemuda-pemudi tanah air yang dengan penuh semangat menjadikan Bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan.

Bidan Itu Bernama Pemuda

Lini masa ditarik mundur ke tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 ketika segenap pemuda Indonesia bersepakat untuk menggelar kongres guna membahas rumusan fundamental persatuan bangsa. Adalah M. Tabrani, salah satu pemuda Indonesia yang kala itu belum genap berusia 22 tahun, yang di dalam kongres tersebut beradu argumentasi dengan Mohammad Yamin, seorang sastrawan berusia 23 tahun kala itu, mengenai nama bahasa persatuan. M. Tabrani tidak setuju dengan pemikiran Mohammad Yamin yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dengan pertimbangan bahwa bahasa ini telah lama menjadi basantara atau lingua franca di wilayah yang kemudian disebut Indonesia. Konsep Mohammad Yamin berbunyi sebagai berikut (dengan ejaan lama):

  1. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah yang satoe, tanah Indonesia;
  2. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia;
  3. Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng tinggi bahasa persaturan, Bahasa Melajoe.

M. Tabrani hanya menyetujui poin 1 dan 2 karya sang arsitek pengonsep ikrar tersebut. Menurutnya, jika tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya juga harus disebut bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Perbedaan pendapat berakibat pada ditundanya pengambilan keputusan redaksi ikrar hingga Kongres Pemuda II terlaksana pada 28 Oktober 1928. Perdebatan sengit ini terekam jelas dalam buku biografi M. Tabrani yang berjudul Anak Nakal Banyak Akal. Berikut kutipan dari M. Tabrani kala itu yang sangat berenergi:

Dari penggalan sejarah di atas, kita menjadi paham bahwa ternyata teks ikrar Sumpah Pemuda yang dikenal luas hari ini terbentuk melalui sebuah perdebatan penetapan bahasa pemersatu bangsa. Sastrawan asal Sumatera Barat, Mohammad Yamin, condong untuk menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu karena secara faktual, selain bahasa Jawa, bahasa Melayu memang merupakan bahasa perantara antarsuku bangsa di Nusantara saat itu. Sementara itu, M. Tabrani, seorang jurnalis kelahiran Pamekasan, bersikukuh untuk melahirkan bahasa Indonesia. Saya meyakini bahwa kekukuhan M.Tabrani ini tak lain dilakukan untuk menjaga persatuan atau menghindari favoritisme terhadap suku bangsa tertentu.

Penggalan sejarah di atas menggambarkan kuatnya argumen persatuan para pemuda Indonesia di balik lahirnya Bahasa Indonesia, bahasa pemersatu bangsa, 97 tahun silam. Sepakat dengan Harimutri Kridalaksana dalam bukunya yang bertajuk Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia, tanggal 2 Mei 1926 layak ditetapkan sebagai hari lahir Bahasa Indonesia dengan para pemuda sebagai bidan yang membantu kelahirannya.

Bahasa Indonesia Berpayung Hukum

Tak berhenti di ikrar, bahasa Indonesia mendapat tempat dalam konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 36 UUD 1945 berbunyi “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Ini merupakan bentuk pengakuan hukum pertama dan tertinggi mengenai kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Pasal 36 UUD 1945 diejawantahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dua puluh satu pasal di dalam undang-undang ini dikhususkan untuk mengatur mengenai penggunaan, pengembangan dan perlindungan, hingga peningkatan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Dalam Pasal 25 dijelaskan bahwa bahasa Indonesia memiliki fungsi di antaranya sebagai bahasa resmi kenegaraan, jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, pengantar pendidikan, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada berbagai lingkungan dan kondisi diatur secara lengkap di dalam undang-undang ini.

Negara ini juga memosisikan bahasa Indonesia pada tempat terhormat dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya mengatur bahwa bahasa peraturan perundang-undangan tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia. Dalam beleid ini pula diatur limitasi penggunaan istilah asing yang hanya dapat digunakan di dalam bagian penjelasan peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas merupakan wujud negara dalam memberikan ruang kehormatan dan pengutamaan bahasa Indonesia terhadap bahasa asing.

Lebih jauh lagi, Indonesia bahkan memiliki peraturan bahasa Indonesia pada tingkat yang lebih teknis, yaitu Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019. Produk hukum ini memberikan penegasan keharusan penggunaan Bahasa Indonesia dalam lima belas area, di antaranya peraturan perundang-undangan, dokumen resmi negara, pidato resmi pejabat, pendidikan nasional, pelayanan administrasi publik di instansi pemerintah, nota kesepahaman, forum nasional dan internasional di Indonesia, serta komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.

Keempat regulasi di atas merupakan wujud konkret penghargaan dan kepedulian negara terhadap eksistensi dan kelestarian bahasa Indonesia. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa sejatinya, secara hukum, tidak ada celah bagi masyarakat Indonesia untuk menyampingkan bahasa Indonesia dalam setiap ruang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun, pertanyaan besar berikutnya adalah sudah sebaik apa kita menjaga kelestarian bahasa Indonesia melalui kepatuhan terhadap kaidah dan pengutaman penggunaannya dibanding bahasa asing.

Urgensi Bahasa bagi Sebuah Bangsa

Dalam konteks pembentukan dan pelestarian identitas nasional, bahasa memainkan peran yang sangat penting. Seperti yang diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure, bahasa bukan hanya sistem tanda-tanda yang bersifat arbitrer, melainkan struktur simbolik yang merefleksikan realitas sosial dan kultural masyarakat pemakainya (Saussure, 1916). Dari perspektif bangsa, bahasa memainkan tiga fungsi kritis yang menunjukkan urgensinya.

Pertama, bahasa sebagai identitas. Anderson (1983) dalam Imagined Communities mengartikulasikan bahwa bahasa adalah instrumen kunci dalam membentuk ‘komunitas terbayang’ suatu bangsa. Melalui bahasa, sejarah, tradisi, dan nilai-nilai suatu masyarakat terekspresi dengan jelas yang membangun fondasi identitas kolektif.

Kedua, bahasa sebagai alat integrasi sosial. Dalam masyarakat yang beragam, bahasa nasional berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan berbagai kelompok etnik dan budaya. Seperti yang dijelaskan oleh Bourdieu (1991), bahasa memiliki kapital simbolik yang bisa meneguhkan dominasi satu kelompok atas yang lain, tetapi dalam konteks bangsa, bahasa nasional bisa difungsikan sebagai alat pemersatu yang inklusif.

Ketiga, bahasa sebagai konservator warisan budaya. Menurut Crystal (2000) dalam Language Death, setiap bahasa yang punah mengambil bagian dari warisan budaya dunia. Sebuah bangsa kehilangan bagian dari sejarah dan tradisinya saat bahasanya terpinggirkan atau punah.

Bahasa bukan hanya sekedar untaian kata yang diucapkan atau dituliskan, tetapi merupakan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, individu dengan komunitasnya, dan sebuah bangsa dengan dunia luar. Dengan bahasa, kita menemukan siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Menjaga, mengembangkan, dan mempromosikan bahasa nasional adalah upaya konstan dalam mempertahankan kedaulatan kultural suatu bangsa.

Tantangan Bahasa Indonesia pada Era Informasi

Era informasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam cara kita berkomunikasi. Kemajuan teknologi informasi, khususnya media sosial dan internet, telah mendorong pemakaian bahasa yang lebih beragam, dan bahasa Indonesia pun menghadapi tantangan baru dalam menegaskan eksistensinya.

Poin analisis pertama adalah dominasi bahasa global. Dalam dunia digital, bahasa Inggris menjadi bahasa dominan dan bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, harus berjuang untuk tetap relevan. Media sosial laman, aplikasi, dan berbagai platform digital sering kali didesain dalam bahasa Inggris, sehingga mendorong masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih fasih dalam bahasa global tersebut.

Tantangan berikutnya ialah kemudahan akses informasi yang sering kali melahirkan “bahasa gaul” atau slang yang semakin menjauhkan penggunaan bahasa standar. Bahasa Indonesia di media sosial mengalami distorsi yang signifikan yang bisa mengancam integritas dan fungsi bahasa itu sendiri.

Selain itu, dominasi bahasa Inggris sering kali mendapatkan prioritas, sebagian disebabkan oleh apa yang sering disebut sebagai “mental inferioritas” dalam konteks Indonesia. Mengagung-agungkan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, mencerminkan adanya rasa rendah diri dan kurangnya apresiasi terhadap kekayaan budaya dan bahasa sendiri.

Mental inferioritas ini diperlihatkan dalam preferensi masyarakat kita yang sering kali memilih menggunakan bahasa asing, terutama di media sosial, sebagai simbol status dan modernitas. Seringkali ketergantungan pada bahasa Inggris dalam dunia digital bukan hanya didorong oleh fungsionalitasnya, tetapi juga oleh persepsi bahwa penggunaan bahasa asing dianggap lebih bergengsi. Hal ini tervalidasi dengan enggannya masyarakat kita untuk menggunakan padanan bahasa Indonesia atas istilah bahasa asing dengan alasan ketidakumuman penggunaan dan kekhawatiran terjadinya deviasi makna. Padahal, kedua hal tersebut justru akan meluntur ketika kita sering menggunakan padanan bahasa Indonesia atas istilah bahasa asing.

Lebih mirisnya lagi, seringkali mental inferioritas ini terjadi pada ruang-ruang formal kenegaraan. Alih-alih menjadi ‘penjaga’ jati diri bangsa, aparat negara malah kurang mengapresiasi bahasa sendiri dan memosisikan bahasa asing satu tingkat lebih bergengsi daripada bahasa persatuan negaranya.

Yang Pemuda Masa Kini Dapat Lakukan

Melihat fenomena tantangan hari ini, bahasa Indonesia tampaknya memang belum akan benar-benar punah dalam seratus tahun ke depan. Namun, tingkat penggunaannya kemungkinan akan semakin menurun, juga tingkat kepatuhan penerapan atas kaidah-kaidahnya.

Namun, asa tetap dapat menyala. Banyak faktor yang menjadi harapan bagi keberlanjutan bahasa Indonesia. Salah satunya adalah semakin kuatnya kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga identitas bangsa. Selain itu, berbagai inisiatif dan program pemerintah serta organisasi nonpemerintah terus berupaya mempromosikan dan mendidik masyarakat tentang pentingnya bahasa Indonesia, baik dalam konteks budaya maupun komunikasi sehari-hari.

Di sisi lain, teknologi digital, meskipun bisa menjadi tantangan, juga memberikan peluang. Platform media sosial, aplikasi pembelajaran, dan konten digital berbahasa Indonesia semakin bervariasi dan menjangkau audiens yang lebih luas. Pemuda masa kini memiliki kesempatan untuk menggabungkan kreativitas dan inovasi dalam menyebarkan bahasa Indonesia ke seluruh dunia melalui konten-konten menarik.

Penting juga untuk menyadari bahwa bahasa adalah refleksi dari budaya dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu, upaya pelestarian bahasa sejatinya juga merupakan upaya pelestarian identitas dan warisan budaya. Dengan terus mengajarkan dan memperkenalkan kekayaan bahasa Indonesia kepada generasi berikutnya, kita memastikan bahwa bahasa ini tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.

Khusus bagi pemuda yang juga aparat negara, di ruang formal kenegaraan/pemerintahan, gunakan bahasa Indonesia dengan benar dan utamakan bahasa Indonesia di atas bahasa asing. Tanamkan pemahaman bahwa sebagai aparat negara, sudah sepantasnya Anda membantu negara mewujudkan salah satu visinya, yaitu menjaga identitas bangsa ini. Jadikan ruang kenegaraan menjadi lapangan pengabdian kepada bangsa dan negara, bukan ruang pembuktian dan validasi diri.

Terakhir, pemuda Indonesia masa kini hendaknya terus mengingat perjuangan dan semangat nasionalisme pemuda Indonesia masa lampau dalam konteks kebahasaan. Mereka adalah pewaris bahasa Indonesia, maka kita yang hidup di hari ini bertanggung jawab untuk menjaganya. (YAN)

Leave a comment